Patuaekkon

Patuaekkon adalah salah satu kegiatan adat yang sangat monumental, sebab dalam kegiatan tersebut kedua mempelai dibawa ke suatu tempat yang diibaratkan sebagai tempat mandi (tapian raya bangunan), sebagaimana yang sudah disinggung di atas. Di tapian raya bangunan tersebut kedua mempelai mandi dalam arti kiasan, mengayup haposoon dohot habujingon.


 Tujuannya adalah bahwa keduanya harus menghanyutkan keremajaan, dan menempatkan diri sebagai orang yang sudah menjadi kelompok orangtua. Untuk kegiatan Patuaekkon tersebut biasanya dibuat suatu bangunan yang khusus yang disebut dengan Nacar, suatu tempat duduk yang hanya muat untuk tempat duduk kedua mempelai, yang tingginya bisa mencapai antara dua sampai tiga meter, dengan memakai tangga yang kadang mencapai antara 7 sampai dengan 13 anak tangga, di sanalah kedua mempelai duduk. Beberapa utusan khusus dari kalangan bapak-bapak (ketua-ketua adat) terutama raja panusunan bulung atau yang mewakilinya menyampaikan prinsip-prinsip hidup secara singkat, sebab keduanya di sana hanya sekitar 30 menit.

 Acara terakhir di Nacar tersebut adalah melaksanakan “habang halihi tinggal tukko”, yaitu membacakan hasil sidang adat yang dilaksanakan sebelumnya. Hasil sidang tersebut sebagai realisasi dari telah resminya kedua mempelai sebagai suami dan isteri, sehingga bagi beberapa kalangan tidak boleh lagi menyebut nama kecilnya, akan tetapi harus memanggilkan nama gelaran. Nama gelaran tersebut yang dibacakan dari atas Nacar tersebut secara resmi, sehingga semua dapat memahami dan melaksanakan. Ketika keduanya turun dari Nacar berarti keduanya sudah resmi secara adat menjadi orangtua atau sebagai suami isteri, sehingga harus menjauhkan diri dari pergaulan muda mudi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Marsanji

Apa itu Marsialapari?

Mangupa-upa dalam adat Madina