Marpege-pege dalam adat Madina
Dalam tatanan hidup sosial kemasyarakatan di setiap daerah memiliki kearifan lokal sendiri-sendiri. Kearifan lokal yang lahir dan tumbuh dari unsur tetua masyarakat itu dapat dijadikan perekat yang berkesinambungan.
Bahkan bukan hanya sekedar menjadi forsi budaya kepen-tingan sesama yang turun temurun, namun dapat mencakup aspek yang lebih luas, misalnya masyarakat suatu daerah secara keseluruhan.
Dapat lihat, misalnya pihak pemerintah Provinsi Sumatera Utara kedatangan tamu dari pusat atau luar negeri. Pada upacara menyambut tamu tersebut sudah menjadi tradisi pemberian cindramata kepada tamu, contoh dalam upacara pemberian ulos.Hal ini menjadi tradisi yang pada awalnya dilakukan oleh para tetua adat di daerah ini.
Demikian pula halnya dalam kegiatan sosial kemasyarakatan di Tapanuli bagian Selatan (Tabagsel), menjelang pelaksanaan Horja (pesta kawin) sudah menjadi kelaziman dilakukan Marpege-pege.
Semula timbullah suatu istilah dan menjadi prilaku, ringan sama dijinjing berat sama dipikul. Untuk wilayah kota Padangsidimpuan sekitarnya, masih sangat kuat jiwa toleransi saling berbagi.
Tujuannya untuk mengatasi suatu kebutuhan yang sifatnya berupa pinansial yakni dengan sebutan “Marpege-pegeâ€. Kegiatan ini biasanya dilakukan untuk suatu hajat menyongsong dilaksanakan pesta perkawinan, Antar kerabat terdiri dari unsur Dalihan Nato-lu (mora, kahanggi dan anak boru) berkumpul pada suatu waktu membicarakan kebutuhan biaya pada Horja (pesta kawin), pada hari yang sudah ditentukan.
Oleh pihak kahanggi setelah mendapat persetujuan dari yang punya hajat (suhut) me-ngungkapkan hal kebutuhan biaya kepada tokoh adat.
Maka oleh tokoh adat memberitahukan kepada khalayak tentang kebutuhan biaya pada pesta kawin yang sudah ditentukan harinya. Khalayak atau kerabat yang diundang memberikan kesanggupannya untuk suatu hajatan itu.
Sebab tamu undangan yang jauh dan dekat sudah dianggap tamu bersama, maka pihak kahanggi, anak boru dan mora berpikir agar pesta perkawinan yang ditentukan itu berjalan dengan sukses.
Meringankan Beban Dari wahana pertemuan Marpege-pege tersebut biaya terkumpul, tujuan utamanya adalah untuk saling berbagi meringankan beban pihak suhut dalam suatu acara yang dimaksud. Dalam acara “marpege-pege†tersebut suhut (ahli bait) terlebih dahulu menyuguhkan syarat dalam acara persidangan nantinya.
Ahli bait sudah terlebih dahulu menyiapkan penganan yang disebut “ Marsipulutâ€, yakni makanan nasi pulut yang dibarengi dengan semacam lauk yang disebut inti.
Sejenis lauk dari inti tersebut terbuat dari unsur kelapa yang diparut dimasak dengan gula aren. Marsipulut tersebut tidak hanya makan sipulut (sejenis ketan), tetapi juga memiliki memiliki falsapah tersendiri.Marsipulut tersebut semacam perekat agar apa yang dijanjikan berupa sumbangan demi suksesnya acara horja, jangan diingkari. Dengan demikian apa yang sudah menjadi kesepakatan dalam mupakat Marsipulut sudah seia sekata. Juga sering menjadi acuan paradaton bagi masyarakat Tabagsel dengan sebutan “Songon siala sampagulâ€, yang menunjukkan kekuatan dapat dicapai dengan suatu kebersamaan.
Beberapa aspek tercapai dalam forum silaturahmi tersebut, contoh antar satu kerabat dengan kerabat lainnya yang sudah sekian lama tidak bertemu, dalam kesempatan itu saling bersua.
Bisa jadi, pada mulanya pertemuan Marpege-pege ini bertujuan menolong yang susah. Namun kegiatan itu berkelanjutan, tidak lagi memandang tingkat sosial seseorang. Baik orang berada atau susah, yang jelas pertemuan Marpege-pege itu tetap hidup hingga sekarang dan sifatnya sudah menjadi rotasi.
Forum silaturahmi dalam konteks Marpege-pege, hingga kini masih berlangsung di Kota Padangsidimpuan sekitarnya, baik di rumpun asal maupun yang berasal dari daerah ini berdomisili di perantauan.
Kearifan lokal semacam ini, untuk seterusnya harus dipelihara dan dilestarikan. Aspek sosial yang tumbuh dari Forum Silaturahmi Marpege-pege ini apabila dikembangkan, bukan hanya memenuhi kebutuhan segelintir kerabat. Namun dapat menjangkau aspek yang lebih luas, misalnya untuk kepentingan pertumbuhan daerah.Hingga sekarang, Pemko Padangsidimpuan telah menetapkan suatu peraturan daerah (Perda) tentang wadah generasi muda, Naposo-Nauli Bulung.
Dapat lihat, misalnya pihak pemerintah Provinsi Sumatera Utara kedatangan tamu dari pusat atau luar negeri. Pada upacara menyambut tamu tersebut sudah menjadi tradisi pemberian cindramata kepada tamu, contoh dalam upacara pemberian ulos.Hal ini menjadi tradisi yang pada awalnya dilakukan oleh para tetua adat di daerah ini.
Demikian pula halnya dalam kegiatan sosial kemasyarakatan di Tapanuli bagian Selatan (Tabagsel), menjelang pelaksanaan Horja (pesta kawin) sudah menjadi kelaziman dilakukan Marpege-pege.
Semula timbullah suatu istilah dan menjadi prilaku, ringan sama dijinjing berat sama dipikul. Untuk wilayah kota Padangsidimpuan sekitarnya, masih sangat kuat jiwa toleransi saling berbagi.
Tujuannya untuk mengatasi suatu kebutuhan yang sifatnya berupa pinansial yakni dengan sebutan “Marpege-pegeâ€. Kegiatan ini biasanya dilakukan untuk suatu hajat menyongsong dilaksanakan pesta perkawinan, Antar kerabat terdiri dari unsur Dalihan Nato-lu (mora, kahanggi dan anak boru) berkumpul pada suatu waktu membicarakan kebutuhan biaya pada Horja (pesta kawin), pada hari yang sudah ditentukan.
Oleh pihak kahanggi setelah mendapat persetujuan dari yang punya hajat (suhut) me-ngungkapkan hal kebutuhan biaya kepada tokoh adat.
Maka oleh tokoh adat memberitahukan kepada khalayak tentang kebutuhan biaya pada pesta kawin yang sudah ditentukan harinya. Khalayak atau kerabat yang diundang memberikan kesanggupannya untuk suatu hajatan itu.
Sebab tamu undangan yang jauh dan dekat sudah dianggap tamu bersama, maka pihak kahanggi, anak boru dan mora berpikir agar pesta perkawinan yang ditentukan itu berjalan dengan sukses.
Meringankan Beban Dari wahana pertemuan Marpege-pege tersebut biaya terkumpul, tujuan utamanya adalah untuk saling berbagi meringankan beban pihak suhut dalam suatu acara yang dimaksud. Dalam acara “marpege-pege†tersebut suhut (ahli bait) terlebih dahulu menyuguhkan syarat dalam acara persidangan nantinya.
Ahli bait sudah terlebih dahulu menyiapkan penganan yang disebut “ Marsipulutâ€, yakni makanan nasi pulut yang dibarengi dengan semacam lauk yang disebut inti.
Sejenis lauk dari inti tersebut terbuat dari unsur kelapa yang diparut dimasak dengan gula aren. Marsipulut tersebut tidak hanya makan sipulut (sejenis ketan), tetapi juga memiliki memiliki falsapah tersendiri.Marsipulut tersebut semacam perekat agar apa yang dijanjikan berupa sumbangan demi suksesnya acara horja, jangan diingkari. Dengan demikian apa yang sudah menjadi kesepakatan dalam mupakat Marsipulut sudah seia sekata. Juga sering menjadi acuan paradaton bagi masyarakat Tabagsel dengan sebutan “Songon siala sampagulâ€, yang menunjukkan kekuatan dapat dicapai dengan suatu kebersamaan.
Beberapa aspek tercapai dalam forum silaturahmi tersebut, contoh antar satu kerabat dengan kerabat lainnya yang sudah sekian lama tidak bertemu, dalam kesempatan itu saling bersua.
Bisa jadi, pada mulanya pertemuan Marpege-pege ini bertujuan menolong yang susah. Namun kegiatan itu berkelanjutan, tidak lagi memandang tingkat sosial seseorang. Baik orang berada atau susah, yang jelas pertemuan Marpege-pege itu tetap hidup hingga sekarang dan sifatnya sudah menjadi rotasi.
Forum silaturahmi dalam konteks Marpege-pege, hingga kini masih berlangsung di Kota Padangsidimpuan sekitarnya, baik di rumpun asal maupun yang berasal dari daerah ini berdomisili di perantauan.
Kearifan lokal semacam ini, untuk seterusnya harus dipelihara dan dilestarikan. Aspek sosial yang tumbuh dari Forum Silaturahmi Marpege-pege ini apabila dikembangkan, bukan hanya memenuhi kebutuhan segelintir kerabat. Namun dapat menjangkau aspek yang lebih luas, misalnya untuk kepentingan pertumbuhan daerah.Hingga sekarang, Pemko Padangsidimpuan telah menetapkan suatu peraturan daerah (Perda) tentang wadah generasi muda, Naposo-Nauli Bulung.
Komentar
Posting Komentar